Warta Gereja

Para Uskup Katolik Rwanda Meminta Maaf Atas Peran Umat Kristiani Dalam Peristiwa Genosida Pada Tahun 1994

Mgr. Celestin Hakizimana (diocesegikongoro.com)

"Kami mohon maaf atas semua kesalahan yang telah Gereja lakukan. Kami mohon maaf kepada semua umat Kritiani atas segala bentuk kesalahan yang telah kami lakukan. Kami menyesal bahwa sebagian anggota gereja telah melanggar sumpah (mereka) dari kesetiaan kepada perintah-perintah Allah," kata perwakilan Uskup Katolik Rwanda.

Beberapa pernyataan yang tersebar di beberapa paroki di Rwanda, mengatakan bahwa sebagian umat Katolik telah ikut merencanakan, membantu, dan melakukan aksi pembantaian tersebut. Ekstrimis Hutu telah membunuh lebih dari 800.000 etnis Tutsi dan sebagian orang Hutu yang moderat.

Aggota ulama termasuk dalam jajaran keduanya, yaitu sebagai pelaku dan korban. Dalam beberapa kasus, para imam Hutu, uskup dan kalangan agama telah membantu menyembunyikan dan melindungi orang-orang Tutsi. Namun disisi lain, mereka juga mengangkat senjata untuk melawan mereka. Mereka mengantar para korban untuk masuk ke dalam bangunan gereja lalu memberikan janji-janji palsu dan kemudian menjebak dan mengkhianati mereka, serta memfasilitasi pembantaian mereka.

"Maafkan kami atas segala bentuk kejahatan kebencian di Rwanda, dan maafkan juga rekan-rekan kami yang karena latar belakang etnis mereka justru terlibat dalam praktek kebencian tersebut. Kami telah melakukan suatu kekeliruan besar bahwa kami tidak menunjukkan sikap bahwa pada dasarnya kita ini adalah satu keluarga namun hanya bisa saling membunuh satu sama lain," kata uskup.

Uskup Phillipe Rukamba, juru bicara para uskup Katolik, mengatakan bahwa pernyataan ini akan dirilis pada akhir tahun Kerahiman Allah, berdasarkan laporan Associated Press.

Penyebab terjadinya berbagai tindak kekerasan di Rwanda sangatlah kompleks, termasuk juga dilatarbelakangi ketegangan antar etnis selama beberapa dekade di masa kolonialisme Belgia. Kekerasan itu dipicu oleh propaganda penuh kebencian yang disiarkan oleh para ekstrimis politik.

Pembantaian masal terjadi sejak tanggal 7 April 1994 setelah adanya kontroversi atas kecelakaan pesawat yang menewaskan presiden Rwanda yang beretnis Hutu.

Sekitar 57 persen masyarakat Rwanda adalah Katolik, sedangkan 37 persen Protestan atau penganut Advent Hari Ketujuh. Gereja-gereja selama ini sebenarnya telah berupaya dan bekerja bersama untuk membawa penyembuhan dan rekonsiliasi.

Sebagai sebuah negara maka Rwanda harus pulih dari tragedi kemanusiaan genosida, Gereja Katolik menyarankan untuk membangkitkan sistem pengadilan komunal tradisional yang disebut Gacaca, hal ini untuk meringankan beban biaya sistem peradilan nasional. Para tetua yang sangat dihormati akan menjabat sebagai hakim yang bertujuan memfasilitasi keadilan bagi kedua belah pihak baik korban maupun pelaku.

Dalam sebuah wawancara 2013, Fr. Celestin Hakizimana, sekretaris jenderal Konferensi Waligereja Rwanda, menggambarkan bahwa hubungan antara Gereja dan Negara Rwanda saat ini secara umum sangat baik. Setiap upaya sedang berlangsung dalam rangka memperbaiki hubungan yang rusak selama peristiwa genosida, terlebih lagi Gereja yang sedang berhadapan dengan tantangan modern, terutama dalam menyikapi undang-undang baru yang melegalkan aborsi, yang secara vokal ditentang oleh para uskup.

Meskipun ada beberapa hambatan, akan tetapi Gereja di Rwanda sangat kuat, kata Fr. Hakizimana. Dengan bantuan Catholic Relief Services, Konferensi Waligereja nasional telah meningkatkan struktur dan organisasinya, dan banyak keuskupan telah bekerja sama dengan lembaga internasional untuk memperkuat efisiensi, profesionalisme serta meningkatkan kemampuan mereka dalam manajemen keuangan mereka.

Fr. Hakizimana juga menjelaskan bahwa Gereja pun sedang bertumbuh karena setiap hari Minggu selalu ada pembaptisan.

Hingga Oktober 2013, seminari di negara kecil selalu terisi penuh, sebanyak 530 pemuda sedang belajar di seminari. Pemimpin gereja terpaksa harus membatasi jumlah pelamar karena fasilitas yang ada sementara ini masih diperluas. Masyarakat Rwanda sedang bangkit kembali, sebagaimana terlihat bahwa Gereja lokal juga sedang bertumbuh.(S. Karimawatn)

Referensi : Catholic.Org

No comments