Warta Gereja

Kasih sayang dorong seorang biarawati tidak takut melayani ODHA

Suster Martha Mya Thwe
Suster Martha Mya Thwe menjelaskan kehidupannya mengelola proyek HIV/AIDS di Myanmar (indonesia.ucanews.com)
SAYOKA.ORG - Ketika banyak orang di Myanmar takut menyentuh orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) atau pemberian obat-obatan kepada mereka, sebaliknya Suster Martha Mya Thwe dari desa Maygon dengan dorongan rasa belas kasih ia merawat ODHA dan tinggal bersama mereka.

Tahun 2001 ketika Suster Martha menyadari jumlah ODHA di sebuah komunitas kecil di Negara Bagian Mon di mana meningkat secara dramatis.

“Saya pikir saya harus melaksanakan pelayanan terhadap ODHA sebagai panggilan baru untuk pelayanan saya. Saya bisa mengatasi rasa takut,” katanya.

“Orang-orang berbicara tentang jumlah orang meninggal meningkat, tetapi mereka tidak menyadari bahwa orang-orang itu sekarat karena AIDS,” katanya.

Suster Martha bermitra dengan biarawati Buddha mendirikan Mirror of Charity Care Center, sebuah organisasi berbasis komunitas menyediakan makanan, obat-obatan dan bantuan pendidikan untuk anak yatim-piatu dari ODHA.

“Saya merasakan kehangatan ketika saya tinggal bersama-sama dengan (pasien). Ketika saya berbagi makanan dengan mereka, mereka sering menangis karena keluarga mereka dan anggota masyarakat lainnya telah meninggalkan mereka,” kata Suster Martha.

Pusat itu beroperasi di lingkungan Buddha di Kyeik, dekat pantai Andaman sekitar 88 kilometer sebelah selatan Mawlamyine, ibukota Negara Bagian Mon.

Misinya terangkum dalam slogan pusat ini: “Menjadikan ODHA yang bebas, bahagia, sehat, dan berpendidikan.” Sebuah tim dari 13 orang awam membantu dia mengelola organisasi ini.

Pusat ini sekarang memberikan obat-obat untuk menyelamatkan nyawa sekitar 103 anak dan orang dewasa.

Dari sekitar 210.000 ODHA di Myanmar, hanya setengah dari mereka menerima ARV, menurut Medecins Sans Frontieres.

Dinding tengah dipenuhi dengan foto-foto biarawati itu sedang merangkul para pasiennya, sebagian besar anak-anak.

Suster Martha terkenal di Mon dengan penduduk sekitar 10.000 jiwa. Hanya 50 orang Kristen tinggal di sana. Mon memiliki salah satu tingkat infeksi tertinggi di negara itu bersama dengan sejumlah negara bagian – Kachin, Shan dan Karen.

Pada hari-hari awal operasinya tahun 2001, pasien meninggal hampir setiap hari. Setidaknya 10 orang tewas setiap bulan.

“Kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk mereka karena pusat tidak bisa memberikan obat anti-retroviral (ARV) pada waktu itu,” kata Suster Martha.

Biarawati itu berupaya mencari ARV selama bertahun-tahun, namun sia-sia. Tahun 2007, dia mendapat kontak dengan penyedia utama ARV di Myanmar dan bisa mendapatkan obat itu untuk mengobati 20 pasien.


Awal yang sederhana


Pusat itu dimulai dengan rumah kayu sederhana tahun 2002 dan kini telah diperluas menjadi kompleks multi-bangunan yang didanai oleh kedutaan besar Jepang dan Jerman. Kompleks ini mencakup lahan pertanian, fasilitas untuk mengajarkan keterampilan kejuruan dan memelihara babi dan ayam.

“Saya mulai dengan hal-hal kecil dan apa pun yang saya bisa bekerja sama untuk membantu warga dan kami awalnya tidak punya dana,” kata Suster Martha.

Pusat ini juga mengelola sebuah klinik kecil menyediakan perawatan kesehatan dasar untuk penduduk setempat tanpa HIV/AIDS.

Suster Martha mengatakan bahwa sebelum tahun 2011, pemerintah mengawasi secara ketat pelayanannya. Pihak berwenang setempat mendesak dia untuk tidak melanjutkan misinya. Mereka sering mengunjungi pusat itu untuk mengetahui sumber dananya.

Situasi telah membaik sejak reformasi demokrasi tahun 2011. Pemeriksaan telah berakhir dan pusat itu sekarang didaftar di Departemen Dalam Negeri sebagai organisasi berbasis masyarakat.

Tidak seperti rekan-rekan biarawati lain di negara itu, Suster Martha tidak memakai pakaian biarawati, tetapi memilih untuk memakai baju pakaian sederhana dihiasi hanya dengan sebuah salib yang menggantung di lehernya.

Dia mengatakan bahwa pakaian religiusnya adalah penghalang untuk menghubungkan dia dengan pasiennya.

“Saya menyadari bahwa mengenakan pakaian biarawati adalah penghalang untuk menangani pasien HIV. Jadi saya tetap mengenakan pakaian biasa untuk lebih mengintegrasikan dengan orang yang saya layani,” katanya.

Tahun 2014, ia mempelopori pendirian pusat perawatan baru di Kawthaung, Myanmar selatan dengan menyediakan ARV untuk 500 ODHA.

“Bahkan setelah saya meninggal, saya telah meminta rekan-rekan saya untuk melanjutkan pelayanan ini.”

No comments