Sejarah Gereja Katolik di Kalimantan Barat
Gereja Katedral Santo Josep Pontianak merupakan Gereja Katolik terbesar di Asia Tenggara (rodajayapontianak.com) |
Kondisi Geografis Kalimantan Barat
Secara geografis Kalimantan Barat adalah salah satu provinsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi Kalimantan Barat dengan ibukotanya Pontianak terletak di antara garis 20 08’ LU dan 30 05’ LS serta di antara 1080 0’ BT dan 1140 10’ BT pada peta bumi. Berdasarkan letak geografis yang spesifik ini, maka daerah Kalimantan Barat tepat dilalui oleh Garis Khatulistiwa (garis lintang 00 ) tepatnya di atas kota Pontianak.
Wilayah Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang langsung berbatasan dengan negara tetangga, yaitu Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur. Posisi geografis ini menjadikan Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang secara resmi telah memiliki akses jalan darat masuk dan keluar ke/dari negara asing, seperti Malaysia dan Brunai Darussalam. Hal ini terjadi karena antara Kalbar dengan Serawak terbuka jalan darat antar negara yang bisa dilalui kendaraan umum via poros jalan antar negara Pontianak–Entikong–Kuching (Serawak Malaysia) sepanjang 400 Km dan dapat ditempuh enam sampai delapan jam perjalanan darat. Batas wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah sebelah utara Serawak (Malaysia), sebelah selatan dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur dan sebelah barat dengan Laut Natuna dan Selat Karimata. Ada empat kabupaten sebelah utara Kalimantan Barat yang berbatasan dengan negara jiran Malaysia : Sambas, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu. Sebagian besar wilayah Kalimantan Barat merupakan daratan berdataran rendah dengan luas sekitar 140.807 Km2 atau 7,53 persen dari luas Indonesia, atau 1,13 kali luas pulau Jawa. Wilayah ini Membentang lurus dari utara ke selatan sepanjang lebih dari 600 kilometer dan sekitar 850 kilometer dari barat ke timur. Bagian lain adalah perairan laut dengan puluhan pulau-pulau. Pulau yang besar adalah pulau Karimata dan pulau Maya.
Kedatangan Injil di Kalimantan Barat
Menurut data-data arsip Ordo Fransiskan mencatat bahwa pada tahun 1313 Kalimantan dikunjungi oleh Odorico de Pordone. Ia singgah dalam rangka menuju ke Cina dari Eropa dan mampir ke Sumatra, Jawa dan Kalimantan serta sempat singgah ke ibukota Majapahit. Selama abad 16 banyak misionaris mengunjungi Indonesia, tetapi tidak seorangpun yang ke Kalimantan. Ini berlangsung sampai tahun 1688, ketika akhirnya datang lagi beberapa imam dari Kongregasi Theatin ke Kalimantan.
Tahun 1847 Mgr. Vrancken mengadakan kontak pertama dengan Ordo Yesuit untuk membicarakan tentang Kalimantan. Pada masa itu Kalimanatan merupakan bagian dari provinsi Ordo Yesuit. Dalam tahun yang sama Vikaris berunding dengan G.G. Rochussen. Kemudian dia berbicara dengan Residen Willer dari Sambas dan Residen Pontianak dengan hasil keputusan bahwa: G.G. Rochussen tidak keberatan misi mulai bekerja di Kalimantan Barat, asal di daerah di mana belum ada pendeta. Menurut artikel 171 yang dikeluarkan pemerintahan Hindia-Belanda melarang adanya misi ganda di suatu wilayah. Pada masa itu wilayah Borneo Selatan (Kalimantan Selatan dan Tengah saat ini) sudah dimasuki misi Protestan.
Dalam tahun 1851-1853 pastor Sanders beberapa kali melakukan survey hingga jauh di Kalimantan Barat dan Timur, untuk menyelidiki kemungkinan-kemungkinan pembukaan misi. Tahun 1862 Pastor van Grinten berkeliling di pelbagai daerah orang Dayak di Kalimantan Barat. Laporan mereka optimis jika Kalimantan akan menjadi daerah pekabaran Injil yang berkembang, tetapi bertahun-tahun lamanya tidak ada berita lagi. Hal ini disebabkan karena kekurangan tenaga dan waktu itu di Kalimantan Barat cukup lama kurang aman, dan sering kali terjadi pertentangan yang kadang-kadang hingga menimbulkan pertumpahan darah antara pemerintah dengan kongsi-kongsi yang berkuasa di sana.
Umat Katolik Kalimantan Barat dikunjungi oleh para misionaris dari Jakarta. Pater de Vries dalam tahun 1865 bertemu di Singkawang dengan seorang Tionghoa yang sudah dibaptis dan yang sudah mendapat lima orang katekumen. Dalam tahun-tahun berikutnya tidak ada berita lagi.
Dalam tahun 1872 pastor Timmermans mengunjungi Kalimantan-Barat disertai oleh Petrus Chang, seorang katekis yang datang dari Tiongkok dan akan bekerja di Bangka. Antara 7 Mei dan 12 Juli 1874 Pater de Vries mengunjungi Pontianak, Sintang, Bengkayang, Sambas, Singkawang dan Monterado. Di Singkawang ada umat Katolik Tionghoa berjumlah 51 orang yang sudah dibaptis, ada yang menjadi Katolik di Singkawang sendiri, ada yang datang dari Bangka atau Malaya.
Di Pontianak masih terdapat enam orang Tionghoa yang Katolik, dan beberapa di Monterado. Di tiga kota ini Pater de Vries telah mengangkat seorang“sensang atau katekis; sensang di Pontianak ternyata mencandu, lalu dipecat. Di Singkawang seorang wanita Tionghoa menyumbangkan sebidang tanah dengan 700 pohon kelapa. Sebuah gereja dibangun di sana, dengan sebuah kamar untuk pastor. Koster penjaga mendapat hasil dari pohon-pohon kelapa itu sebagai gajinya.
Karena umat Katolik sedikit demi sedikit bertambah, Pater de Vries dan Pater Staal SJ yakin bahwa harus ditempatkan seorang pastor tetap. Dalam tahun 1880 sudah ada umat Katolik 110 orang, yang hampir semuanya diam di Singkawang. Tahun 1884 beberapa pastor Mill Hill dari Borneo Inggris menawarkan diri untuk bekerja di Kalimantan Barat, tetapi ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda.
Tahun 1885 G.G. van Rees mengizinkan didirikan stasi Singkawang yang meliputi Kalimantan Barat dengan 150 orang Katolik Tionghoa dan pulau Belitung 100 orang Tionghoa Katolik. Di samping itu masih terdapat 100 hingga 200 orang Belanda sipil, dan sejumlah tentara yang bertugas secara temporer. Pater Staal SJ sebagai pastor Paroki yang pertama. Maksud utama misi Singkawang ialah mendirikan basis bagi karya misi di antara orang-orang Dayak. Beberapa kali pastor Staal mengadakan perjalanan untuk meninjau situasi. Nasihatnya adalah supaya misi dimulai di antara orang-orang Dayak yang diam di sekitar Bengkayang, khususnya di Kampung Sebalau, daerah itu tidak terlalu jauh dari Singkawang sehingga antara pastor Sebalau dan pastor Singkawang bisa selalu mengadakan kontak. Residen Gijsbers dari Pontianak menganjurkan agar Pater Staal juga mengunjungi daerah lain. Lima hari berlayar memudiki sungai Kapuas sampai Semitau, pusat orang-orang Dayak dari suku Rambai, Sebruang, dan Kantuk. Walaupun orang-orang Daya di sana baik, namun karena jumlah mereka sekitar 1500 jiwa saja, dan perjalanan sulit sekali maka Pater Staal tetap di Sebalau.
Karena belum ada misionaris, misi Dayak diundur-undurkan saja, sampai tahun 1888-1889 ketika ada kabar bahwa salah satu Zending Protestan mungkin akan bekerja di sana, setelah itu tentu daerah itu tertutup bagi Misi Katolik. Karena sudah dijanjikan tambahan tenaga dari Negeri Belanda, Mgr. Claessens mohon izin untuk membuka dua pos baru, yaitu di Bengkayang dan di Nanga Badan, dekat perbatasan Sarawak Inggris, tempat menjabat seorang Kontrolir.
G.G. Pijnacker Hordijk tidak keberatan, namun menganjurkan supaya Semitau dipilih karena lebih gampang dicapai, apalagi pos Kontrolir Nanga Badan juga dipindahkan ke sana. Akhirnya Bengkayang tidak dipilih, karena terletak di daerah kuasa Sultan Sambas di mana para pejabatnya semua beragama Islam dan tidak ada jaminan bahwa mereka tidak akan menghalang karya misi di antara orang-orang Daya yang masih kafir.
Yang terpilih untuk misi baru itu ialah Pater H. Looymans, pastor di Padang (Sumatera Barat). Tanggal 29 Juli 1890 tiba di Kalimantan. Belum lama ia di Semitau, tapi jelas baginya bahwa Semitau bukan tempat yang ideal; daerah ini merupakan pusat perdagangan bagi daerah di sekitarnya, tetapi penduduknya hanya terdiri dari orang-orang Tionghoa dan Melayu, dan kontak lebih mendalam dengan orang-orang Daya hampir tidak mungkin. Karena itu ia pindah ke Sejiram , di tepi sungai Sebruang. Daerah ini cukup banyak penduduknya dan menerima Pastor dengan ramah tamah. Pada puncak bukit dibangun rumah sederhana. Dengan itu mulailah stasi kedua di Sejiram.
Sementara itu perkembangan Gereja Katolik di luar Kalimantan semakin meningkat, khususnya di Jawa dan Flores, sehingga sangat memerlukan tenaga. Karena tidak ada tenaga baru, maka dua pastor yang berada di Sejiram dan Singkawang di tarik kembali. Ini terjadi pada tahun 1897. Tahun-tahun selanjutnya Singkawang masih dapat dikunjungi oleh seorang pastor dari Bangka dua kali setahun, sedangkan Sejiram tidak mendapat kunjungan sama sekali.
Pada tanggal 11 Februari 1905 wilayah misi Kalimantan ditingkatkan menjadi Prefektur Apostolik Kalimantan yang berpusat di Pontianak.
Titik Balik Misi Katolik Kalimantan Barat
Setelah terjadi penyerahan wilayah pelayanan Borneo dari Ordo Yesuit kepada Ordo Kapusin (OFM. Cap) pada tahun 1905 terjadi titik balik perkembangan Gereja Katolik di Kalimantan Barat.
Suasana dramatis terjadi di Tilburg 16 Oktober 1905. Ratusan warga terkumpul di depan gereja dan biara kapusin dalam upacara pengutusan ini. Borneo (Kalimantan) pada masa itu masih dikenal sebagai daerah liar, Masyarakat Dayak digambarkan sebagai Wild Men from Borneo oleh orang Eropah. Cuaca dingin. Tapi hati mereka hangat mengambil bagian dalam semangat enam kapusin yang siap diutus ke Kalimantan. Dari umat ada yang kelihatan sedih. Ada yang secara tersembunyi mengusap sesuatu antara mata dan pipi. Itu pasti saudara keluarga dari enam misionaris itu. Ada yang menepuk bahu enam misionaris itu dengan membisikan yang sesuatu; tetapi dari wajah dan gerakan tangan mereka jelas mereka mau menggalang semangat kapusin-kapusin muda itu. Dari enam misionaris muda itu wajahnya ada yang serius dengan bayangan Kalimantan Barat sudah di depannya. Yang lain membalas umat dengan senyum gaya pahlawan. Pewartaan Injil. Itulah daya dorong bagi mereka sehingga sanggup meninggalkan saudara saudaranya; tanpa memperhitungkan kapan bisa berkumpul kembali dengan mereka.
Enam Kapusin itu adalah:
- Pacificus Bos, imam, 31 tahun
- Eugenius van Disseldorp, imam, 30 th
- Beatus Baijens, imam, 29 th
- Camillus Buil, imam,28 th
- Wilhelmus Verhulst, bruder, 30 th
- Theodoricus van Lanen, bruder, 31 th
Mereka tiba di Singkawang, 30 Nopember 1905, untuk pertama kalinya enam kapusin misionaris itu menyaksikan dengan mata mereka sendiri gunung Raya dan gunung Pasi yang selama ini hanya mereka dengar saja. Kapal menurunkan mereka di pelabuhan kuala. Sesudah mendarat, mereka diantar ke “pastoran”, tempat sederhana yang ditinggalkan oleh misionaris misionaris Jesuit yang sebelumnya melayani Singkawang dari Batavia. Sebelumnya pada tanggal 10 April, Pasifikus Bos OFM.Cap sudah diangkat menjadi Prefek Apostolik Kalimantan yang pertama.
Mgr Pacificus Bos, OFM Cap saat berkunjung ke Banjarmasin, didampingi para pastor dan warga Katolik. (Didi G Sanusi) |
Maklumlah bahwa enam misonaris itu belum mengerti bahasa warga warga setempat. (Kemungkinan orang Khek dan Hoklo yang meninggalkan nama daerah Hoklonam). Syukur ada yang berperan sebagai juru bahasa.Segeralah pemimpin umat mengumpulkan umatnya sekitar 150 orang. Demikanlah enam kapusin mulai dengan bagian karya mereka.
Dengan bahan bahan yang mereka bawa dari Belanda maka mereka mulai dengan sekolah. Perhatian untuk pendidikan ternyata sangat tepat, baik dalam rangka pewartaan maupun dalam perkembangan sosial lain. Jelas terasa bahwa sudah ada dasar yang diletakkan oleh misionaris misonaris dari Batavia.
Tenaga awam sebagai katekis dan pemimpin umat melanjutkan karya pewartaan dan pelayanan rohaniah bagi warga warga. Mereka bekerjasama dengan misionaris misonaris yang baru datang itu Maka umat gereja berkembang terus dan meluas dari pantai ke daerah daereh pedalaman. Pada periode permulaan sebagian besar pekerjaan pelayanan umat ditangani oleh kaum awam, selaku katekis atau guru agama. Seorang katekis yang banyak bereperan besar dalam menyebarkan iman Katolik adalah Tsjang A Kang.
Penyerahan Wilayah Pelayanan Kepada Konggregrasi Lain
Wilayah Borneo terlalu luas bagi Ordo Kapusin. Sehingga pada Pada tanggal 13 Agustus 1924 Superior Provinsi Ordo OFMCap di Nederland mengirim surat meminta bantuan tenaga misionaris kepada Kongregasi MSF di Grave. Pada tanggal 12 Januari 1925 pater General MSF (Congregatio Missionariorum a Sacra Familia/Kongregrasi misionaris Keluarga Kudus ) membalas surat itu dan memberitahu, bahwa MSF bersedia mengambil alih sebagian dari Vikariat Apostolik Pontianak. Dalam tempo yang tidak lama menjadi jelas bahwa MSF kemudian dipercayai untuk mengambil alih daerah Kaltim dan Kalsel (pada waktu itu Kalteng termasuk wilayah Kalsel). Seluruh anggota Kongregasi MSF, terutama di Belanda, bersorak-sorai. Meskipun tidak ada seorang anggota dewan general yang tahu sedikitpun mengenai daerah Kalimantan yang diambil alih, tetapi hal itu dianggap tidak penting; yang penting mempunyai daerah misi sendiri.
Setelah penyerahan wilayah kepada Kongregrasi MSF, ternyata Wilayah yang sangat luas dan medan yang sangat berat mendorong prefecture apostolic Borneo – Kalimantan, Mgr. Pasificus Bos, OFM. Cap. mengundang misionaris-misionaris dari kongregasi-kongregasi lain untuk ikut serta terlibat dalam karya misi di Kalimantan. Salah satu kongregasi yang diundang adalah SMM. Mgr. Pasificus Bos, OFM. Cap. mengundang SMM (Serikat Maria Montfortran) melalui provincial SMM Belanda. Pimpinan Umum SMM di Roma menyetujui usulan SMM propinsi Belanda untuk menerima undangan Prefektur Apostolik Borneo. Pada 23 September 1938, Tahta Suci melalui Propaganda Fide menyetujui permohonan yang diajukan oleh Prefektur Apostolik Kalimantan untuk menyerahkan sebagian karya misi di Borneo – Kalimantan, yakni daerah misi Sintang (sekarang keuskupan Sintang) kepada Serikat Maria Montfortan.
Daerah misi Sintang adalah daerah yang sangat luas, kira-kira 65.000 km. Pada saat itu, benih-benih iman mulai tertanam dan tersebar. Hal ini terbukti dengan sudah adanya 4 paroki, yakni paroki Sejiram (1888 – paroki pertama di Kalimantan), paroki Benua Martinus (1909), paroki Bika Nazareth (1925), dan paroki Sintang (1932).
Pada 7 April 1939, 3 misionaris SMM pertama dari Belanda, yakni P. Harry L’Ortye, P. Jan Linsen dan Br. Bruno, tiba di Pontianak. Inilah tahun di mana SMM untuk pertama kalinya hadir di bumi pertiwi ini. Setelah menempuh 900 km dengan perahu menyusuri sungai Kapuas, mereka tiba di Bika Nazareth, Kapuas hulu pada 29 April 1939. Paroki ini menjadi paroki pertama yang diserahkan Ordo Kapusin kepada SMM. Dua bulan kemudian, P. Jan Linsen mulai membangun paroki baru, yakni paroki Maria Tak Bernoda, Putussibau. Inilah paroki pertama yang dibangun oleh misionaris Montfortan. Untuk memperkuat karya misi, pada 7 Maret 1940, 2 missionaris Montfortan Belanda, yakni P. Josef Wintraaecken dan P. Lambertus van Kessel (kemudian menjadi uskup Sintang pertama) tiba di Bika.
Kendati daerah misi sangat luas dan berat, para Montfortan mencoba untuk melakukan yang terbaik. Semakin hari karya misi bertumbuh dan berkembang. Mereka kemudian merencanakan untuk mengambil alih beberapa paroki dari Kapusin. Akan tetapi, perang dunia II membuat rencana mereka tak terpenuhi. Jepang mengalahkan Belanda dan menduduki seluruh kepulauan nusantara. Semua orang Eropa, baik orang Belanda maupun Ingris – misionaris dan kaum awam, termasuk kelima misionaris Montfortan ditangkap dan dibawa ke Kuching, Malaysia. Mereka tinggal di kamp tawanan selama 3 tahun sampai perang selesai. Setelah perang usai, mereka kembali ke tempat pelayanan masing-masing.
Adalah penting untuk diketahui bahwa dalam masa perang, pada 1945, Aloysius Ding, orang Dayak pertama menerimakan tahbisan imamat di Flores. Ia ditahbiskan sebagai imam keuskupan. Kemudian, ia memutuskan untuk menjadi Montfortan. Setelah menjalani masa Novisiat di Belanda, ia mengucapkan kaul pertamanya pada 1949. Ia adalah Montfortan Indonesia pertama. Ia wafat pada 1995.
Setelah perang usai, beberapa misionaris Montfortan Belanda kembali diutus untuk memperkuat karya misi Sintang. Pada Paskah 1947, seluruh karya misi di Kapuas Hulu dan Sintang secara resmi diambil alih oleh para Montfortan dari tangan Kapusin. Para Kapusin kemudian meninggalkan daerah misi Sintang.
Karya misi para Montfortan di dalam membangun Gereja lokal semakin hari – semakin bertumbuh dan berkembang. Pada 11 Maret 1948, Propaganda Fide meningkatkan status daerah misi Sintang menjadi Prefectur Apostolik Sintang dan mengangkat. P. Lambertus van Kessel sebagai Prefektur Apostolik. Pada tahun ini, terdapat 15 Montfortan dan 7 paroki. Para Montfortan tidak hanya membangun gereja-gereja, tetapi juga sekolah-sekolah. Pada saat itu, sudah ada 17 sekolah Katolik. Para Montfortan tidak bekerja sendiri. Mereka dibantu oleh para katekis. Terdapat kira-kira 25 katekis pada 1948. Dengan ditingkatkannya status misi Sintang menjadi Prefektur Apostolik, itu berarti bahwa terdapat dua pimpinan structural dalam karya misi, yakni Mgr. Lambertus van Kessel, SMM sebagai Prefektur Apostolik dan P. Harry L’Orthy sebagai Pimpinan SMM. Tampaknya Tahta Suci begitu senang melihat pertumbuhan dan perkembangan Prefektur Apostolik Sintang. Pada 1956, Tahta Suci, melalui Propaganda Fide, kembali meningkatkan status karya misi Sintang dari Prefektur Apostolik menjadi Vikariat Apostolik.
Perkembangan Gereja semakin pesat sedangkan jumlah misionaris tidak terlalu banyak, maka bagian selatan Kalimantan Barat yaitu Kabupaten Ketapang belum dapat dilayani Prefektur Apostolik Pontianak secara maksimal. Baru setelah perang dunia II berakhir, ketika para Pater Passiionis datang membantu, daerah Ketapang mendapat perhatian penuh. Mulai saat itu ketapang menghadapi masa depan gemilang. Awal Mula Passionis di Ketapang Atas permintaan Mgr.Van Valenberg, OFM Cap memohon agar Pater-Pater Passionis bersedia berkarya di Kalimantan Barat. Maka permohonan ini disambut baik oleh Pater General dari Perserikatan Passionis dan Vicaris Apostolik Pontianak memutuskan bahwa konggregasi Passionis akan berkarnya dibawah vikariat Pontianak.
Wilayah karya pertama Passionis Belanda meliputi: Daerah Ketapang, Suka Dana dan Telok Melano. Kebanyakan penduduk terdiri atas orang Melayu, Tionghoa yang tinggal di daerah pantai dan orang Dayak di daerah pedalaman. Perjanjian dengan Kapusin dilaksanakan dengan Pater Clemens.
Tahun 1939 Pater Dominikus sebagai propinsial menunjuk P.Canisius Pijnappels, CP,P.Theophile Seesing, CP dan P.Bernadinus Knippenberg,CP untuk bersedia berkarya di Kalimantan Barat. Atas usul Mgr.Van Valenberg sebelum berangkat sebagai missionaris perlu dipesiapkan para missionaris dua orang belajar Bahasa Melayu selama 1 taun dan satu orang P.Bernadinus belajar bahasa Tionghoa selama 4 tahun.
Tanggal 18 Juni 1946 tiga missionaris pertama berangkat dengan kapal laut tentara negeri Belanda “Bolendam” ke Indonesia. Keberangkatan tiga misionaris ke Indonesia merupakan saat bersejarah bagi konggregasi Passionis.P.Theo-phile Seesing, CP batal berangkat karena kondisi belum mengizinkannya diganti oleh P.Plechelmus Dullaert, CP.
Tanggal 26 Juli 1946 dengan pesawat Dakota berangkat menuju Pontianak, P.Plechelmus Dullaert, CP langsung ke Ketapang, P.Canisius Pijnappels, CP langsung ke Nyarumkop sedangkan P.Bernadinus Pijnappels, CP sebagai superior tinggal beberapa bulan di Pontianak mempelajari garis-garis besar karya pastoral, administrasi, kearsipan kebijakan misi, pemerintahan, dan agama lain serta memperdalam bahasa Tionghoa khususnya Bahasa Hok Lo.
Tanggal 1 Oktober 1946, P Bernardinus tiba di Ketapang. Bulan November 1946 ketiga misionaris sudah berada di Ketapang, dua pastor yaitu P.Canisius dan P.Plechelmus menetap di pedalaman yaitu Tumbang Titi. Sedangkan P.Bernardinus menetap di Ketapang kota untuk melayani orang-orang TiongHoa Katolik. Sampai bulan Juni 1947 ketiga Pater masih didampingi 2 Pater Kapusin yaitu Pater Martinus dan P.Leo De Jong. Umat Katolik waktu itu baru berjumlah kurang dari 600 orang. Umat Katolik di Ketapang berjumlah 140 orang yang terdiri dari 106 orang Tionghoa, 19 Dayak, 10 Belanda, selebihnya di stasi-stasi. Terdiri dari 133 orang di stasi. Mereka tinggal tersebar di Sungai Awan, Teluk Batang, Suka Dana dan Pulau Kumbang.
Tahun 1948, Misi membuka daerah baru di Randau dan permulaan tahun 1949 di Tanjung. Dengan demikian sudah empat daerah misi yaitu Tumbang Titi, Ketapang, Randau, dan Tanjung. Tahun 1953 misi membuka basis di Sepotong (Sungai Laur) dua Pater menetap di situ. Tanggal 1 Juli 1950 Mgr.Van Valenberg, Uskup Agung Pontianak mengangkat Pater Raphael Kleyne, CP sebagai vicarius delegatus untuk daerah misi Ketapang. Tanggal 27 Februari 1952, ia bersama bruder Caspard Ridder de can de Schueren meninggal dunia akibat kecelakaan kapal motor, tenggelam di Sungai Pesaguan. Tahun 1953 Pater Gabriel W. Silekens, CP diangkat menjadi superior religious Passionis misi Ketapang dan vicarius delegatus/wakil vikaris.
(Sumber : pontianak.kapusin.org)
No comments