Warta Gereja

Komuni Pertama bangkitkan harapan di tengah perjuangan di Lebanon

Para peserta Komunikan Pertama berfoto di Paroki Maronit Syria di Ehden pada 2 Mei. (Foto: Syriac Press)

LEBANON (OSJINDONESIA.ORG) - Setiap Sabtu pagi sejak pertengahan Januari, 15 anak dari Gereja Katolik Mar Abda Maronite di Bikfaya, sebuah desa pegunungan di Lebanon, rajin mempersiapkan untuk Komuni Pertama mereka.

Dengan penuh semangat, anak-anak berkumpul di depan gereja sambil memeluk imam paroki mereka, Pastor Habib Kozhaya.

“Saya sangat senang,” kata Atef Sebaaly, yang menemani cucunya Ghina dan sepupunya.

“Ini rumah kedua saya,” kata Sebaaly tentang gereja Mar Abda, yang berdiri sejak tahun 1587.

“Saya ingin menjadi seorang imam, tetapi perjalanan saya mengambil jalan lain.”

Ghina akan menjadi cucu ketiganya yang menerima Komuni Pertama di gereja Mar Abda.

“Yang terpenting bagi saya adalah mereka tetap berada di jalan iman dan selalu mengutamakan Tuhan dalam hidup mereka,” ujarnya kepada OSV News.

Selain pembinaan agama dan liturgi yang mereka terima selama sesi Sabtu pagi – sebagian besar dari mereka bersekolah di sekolah Katolik – setiap anak memiliki peran dalam Komuni ini yang akan mereka terima pada malam Pentakosta, 27 Mei, termasuk membawakan lagu-lagu pujian, niat pribadi dan janji iman mereka. Ghina akan membawakan lagu juga.

“Saya merasa sangat bangga,” ujar Chirine Sassine tentang Komuni Pertama bagi putranya, Jean Paul.

“Dia akan mengerti apa arti Ekaristi dan mengenal Yesus. Dia sedikit gugup,  atau  merasa malu, tetapi saya mengatakan kepadanya bahwa Yesus akan bersamanya, di sisinya,” kata Sassine kepada OSV News.

Setelah melatih lagu penutup “Because You love us You live in the Eucharist” — anak-anak dengan gembira keluar dari gereja ke halaman untuk beristirahat.

Dengan sekuat tenaga, dua anak laki-laki memegang tali lonceng di menara. Segera mereka berayun lonceng gereja  itu dan berdentang, seperti pembawa berita gembira untuk Komuni Pertama akan dimulai.

“Saya sangat tersentuh oleh kepolosan dan antusiasme mereka. Mereka senang belajar tentang Yesus,” kata Julie Bou Mikhael, relawan paroki  kepada OSV News.

“Kami membimbing mereka untuk siap. Ini adalah pertama kalinya mereka mengalami Tubuh dan Darah Kristus, dan akan menguatkan tubuh dan jiwa mereka,” kata Bou Mikhael.

Di tengah krisis

Bagi para orang tua, kegembiraan Komuni Pertama anak-anak mereka juga dibayangi oleh perjuangan hidup sehari-hari saat Lebanon menghadapi krisis ekonomi, sosial dan politik.

Lebih dari 80% warga Lebanon telah jatuh ke dalam kemiskinan di negara yang tadinya berpenghasilan menengah. Sejak 2019, mata uang nasional telah kehilangan 98% nilainya.

Bank Dunia menyebut kehancuran Lebanon sebagai “depresi yang disengaja” dan salah satu krisis keuangan terburuk di dunia sejak tahun 1850-an. Pada Maret, Lebanon mengalami inflasi harga pangan tertinggi secara global.

Krisis itu menimpa parokinya Pastor Kozhaya, yang memiliki lebih dari 300 keluarga: “Tidak ada lagi kelas menengah. Sebelumnya, mereka membantu orang miskin. Sekarang mereka miskin.”

“Saya berusaha menjaga homili saya berfokus pada harapan dan keberanian, mendorong umat beriman bahwa Tuhan masih hadir, dia tidak pernah meninggalkan mereka,” kata imam itu.

“Saya selalu berbicara tentang pentingnya kegembiraan meskipun mereka mengalami masa-masa sulit, berusaha untuk tetap tersenyum dan mengingat semua hal yang telah Tuhan lakukan untuk mereka,” tegas Pastor Kozhaya.

Tidak kehilangan harapan

Bagi Guitta Gemayel, yang putranya Anthony menerima Komuni Pertama, iman membantunya melewati masa-masa sulit di Lebanon.

“Setiap kali kita merasa sedih tentang situasinya, kita harus ingat bahwa Tuhan adalah satu-satunya Juruselamat kita,” kata Gemayel kepada OSV News.

“Hidup sangat berbeda sekarang. Setiap kali saya merasa lelah karena kekurangan uang, saya tidak menelepon teman. Sebaliknya, saya berpaling kepada Tuhan dan Dia memberi saya kedamaian,” ungkap Gemayel.

“Tuhan berperan penting dalam pernikahan kami, dan kami melakukan yang terbaik untuk menjadi panutan iman bagi anak-anak kami. Mereka melihat kami memiliki kedamaian karena kami berdoa dan pergi ke Misa setiap minggu,” katanya.

Seperti biasa di Lebanon, Komuni Pertama akan mengenakan baju putih sederhana yang diikat di pinggang dengan tali, dihiasi kalung kayu salib. Gadis-gadis mahkota dari bunga putih.

Setiap anak akan mendekati altar secara individu, didampingi oleh orang tuanya, untuk menerima Tubuh dan Darah Yesus Kristus, mengambil bagian dalam Komuni  bersama sebagai satu keluarga.

Menjunjung tinggi tradisi

Sebagai pengingat Komuni Pertama mereka, mereka akan diberikan sebuah Alkitab putih, dibungkus dengan pita dan sebatang gandum.

Tradisi Lebanon mengadakan pesta besar untuk kerabat — sering kali di restoran — dan menyediakan cinderamata bagi para tamu yang datang ke rumah untuk berbagi sukacita untuk anak mereka.

Gemayel sedang mengatur perayaan untuk putranya di rumah, menyiapkan  makanan sendiri. Untuk menghemat biaya, dia membuat suvenir untuk setiap tamu, membeli salib yang dihias, lilin, rosario, dan wadah kecil dupa gereja, bersama dengan kartu yang dicetak dengan nama putranya dan tanggal Komuni Pertama.

Hadiah semacam itu dihargai oleh anggota keluarga, yang sering dilakukan oleh kakek-nenek mereka di ruang tamu mereka untuk memajang suvenir Komuni Pertama anak dan cucu mereka.

Suvenir ini adalah spesialisasi Elise Moukarzel melalui perusahaannya, “Elise’s Touch”.

Sebelum krisis ekonomi, keluarga memesan dari 40 hingga 100 suvenir Komuni Pertama, kata Moukarzel.

“Sekarang, jumlah terbanyak adalah 25 suvenir, dan kebanyakan memesan kurang dari 10,” katanya kepada OSV News, tokonya dipenuhi tema religius, kebanyakan menampilkan salib atau Bunda Maria.

Sementara Moukarzel memiliki hingga 300 pelanggan untuk Komuni Pertama sebelum krisis ekonomi, sekarang “mungkin 20 sampai 30 pelanggan,” katanya.

“Sangat menyedihkan. Semuanya menjadi sangat mahal,” kata Moukarzel, yang mengenakan “gaun Bunda Maria” berwarna biru, kebiasaan populer di Lebanon selama bulan Mei, biasanya sebagai ungkapan syukur atau penebusan dosa untuk intensi doa.

Bagi Moukarzel, pakaiannya di bulan Mei adalah rasa syukur karena telah bebas dari kanker selama 20 tahun.

Bantuan yang sedang berlangsung di paroki Mar Abda termasuk kolekte Misa mingguan untuk membantu obat-obatan bagi mereka yang paling membutuhkan dan bekerja sama dengan organisasi St. Vincent de Paul setempat dalam menyediakan susu bayi.

Solidaritas di antara umat paroki juga merupakan garis hidup. Satu pasangan kaya, misalnya, membantu menghidupi 40 keluarga setiap bulan.

Untuk Komuni Pertama di gereja Mar Abda, Pastor Kozhaya mengatakan, “Yang terpenting, saya berharap anak-anak akan mencintai iman mereka dan tetap terikat dengan Gereja.”

Sumber : indonesia.ucanews.com

No comments