Warta Gereja

Para biarawati Katolik akan dorong dialog di antara Jepang dan Korea Selatan

Para biarawati Katolik Korea dan Jepang berdoa selama pertemuan mereka pada 9-13 Mei di Seoul. (Foto: Catholic Times)

SEOUL (OSJINDONESIA.ORG) - Para biarawati Katolik dari Korea Selatan dan Jepang bergabung dalam pertemuan regional di Seoul di mana mereka memutuskan untuk mempromosikan dan bekerja sama menuju “budaya mendengarkan, dialog, penegasan, kepedulian, dan perdamaian” di kedua negara.

Para suster itu membuat keputusan tersebut dalam pertemuan Konferensi Pemimpin Tinggi Tarekat Religius Korea-Jepang yang diadakan di Pusat Rekonsiliasi Nasional di Paju dekat Seoul pada 9-14 Mei.

Para pimpinan dari 18 tarekat religius wanita dari Korea dan 10 tarekat religius wanita dari Jepang menghadiri konferensi itu dengan tema “Embracing Vulnerability on the Synodal Journey.”

Dalam Misa penutup, Uskup Uijeongbu, Mgr. Peter Lee Ki-heon mengatakan dia yakin keputusan para suster dapat membantu menyelesaikan berbagai masalah regional antara kedua negara.

“Pertemuan ini sangat berarti bagi para pemimpin tarekat religius dari Korea dan Jepang dan berbagi peran pada saat risiko keamanan di Asia, termasuk Asia Timur Laut, meningkat dan krisis lingkungan semakin cepat,” kata Uskup Lee.

Dia lebih lanjut menambahkan “semakin lama kita membela satu sama lain, semakin besar buah yang akan dihasilkan, jadi saya pikir pertemuan para pemimpin religius wanita Korea dan Jepang juga akan menghasilkan buah yang besar di masa depan.”

Prelatus itu menjelaskan moto konferensi itu yang memiliki 1.903 pemimpin tinggi tarekat religius di seluruh dunia yang diorganisir dalam 36 konstelasi regional. Asia memiliki 184 kongregasi.

Pertemuan itu bertujuan “menciptakan jalan bagi para religius wanita untuk berdialog satu sama lain, dengan otoritas Gereja dan organisasi global.”

Konferensi itu memulai pertemuan informalnya hingga pertemuan luar biasa yang diadakan di bawah perlindungan Paus Pius XII tahun 1951.

Organisasi itu kemudian muncul secara resmi disetujui oleh Dewan Vatikan pada hari terakhirnya, 8 Desember 1965.

Pertemuan yang baru saja selesai merupakan kelanjutan dari diskusi tentang topik yang diangkat dalam pertemuan ke-22 dari konferensi itu yang diadakan di Roma Mei lalu.

Para biarawati juga membahas cara merangkul kerentanan di dunia dan di dalam kongregasi dan mengeluarkan resolusi “merangkul kerentanan dunia.” Rincian resolusi tidak tersedia.

Seorang biarawati yang tidak disebutkan namanya yang berpartisipasi dalam konferensi tersebut menjelaslkan pertemuan tersebut membantu para delegasi untuk lebih memahami satu sama lain.

“Selama ini, pikiran positif para konfrater dari Jepang dan permintaan maaf serta rekonsiliasi atas peristiwa sejarah melembutkan hati yang bergumul dengan hubungan Korea-Jepang,” katanya.

Para delegasi juga melakukan ziarah ekologi ke Observatorium Odusan, Kuil Seosomun, Observatorium Dora, Kantor Imigrasi Antar-Korea, dan Stasiun Dorasan sebagai bagian dari pertemuan tersebut.

Pertemuan itu juga memutuskan untuk berpartisipasi aktif dalam perjalanan 7 tahun Laudato Si dan berjanji untuk berpartisipasi aktif dalam pelaksanaannya di wilayah masing-masing.

Para biarawati juga memutuskan untuk berdoa setiap hari untuk perdamaian di Korea dan Jepang.

Korea dan Jepang memiliki hubungan yang pahit selama beberapa dekade karena pemerintahan kolonial Jepang dan kekejaman di Semenanjung Korea yang berakhir setelah Perang Dunia II.

Untuk meningkatkan hubungan bilateral, para pemimpin dari kedua negara berkumpul di Seoul untuk pertemuan puncak pertama mereka dalam 12 tahun, pada Maret.

Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengambil langkah pertama dengan mengusulkan solusi untuk perselisihan yang belum terselesaikan sejak lebih dari satu abad ketika sekitar 780.000 orang Korea bekerja keras sebagai budak di pertambangan dan pabrik selama pendudukan kolonial Jepang di semenanjung Korea tahun 1910-1945.

Pada Maret, pemerintah Korea Selatan meluncurkan rencana untuk memberi kompensasi kepada para korban kerja paksa masa perang melalui dana yang dikumpulkan dengan bantuan yayasan lokal tetapi tanpa keterlibatan langsung dari Jepang.

Tokyo di sisi lain menegaskan perjanjian tahun 1965 – yang membuat kedua negara memulihkan hubungan diplomatik dengan paket reparasi sekitar 800 juta dolar AS dalam bentuk hibah dan pinjaman murah – menyelesaikan semua klaim di antara keduanya yang berkaitan dengan masa kolonial.

Rencana tersebut menuai protes keras dari kelompok korban, yang menginginkan kompensasi finansial dan permintaan maaf langsung dari perusahaan Jepang yang terlibat.

Sumber : indonesia.ucanews.com

No comments