Warta Gereja

Seorang oknum polisi tembak 2 siswi sekolah misionaris Katolik di Pakistan

Para siswa dari Sekolah Negeri Sangota di distrik Swat di Pakistan menampilkan tarian pada 29 Maret 2017. Tragedi menimpa sekolah itu pada 16 Mei ketika seorang polisi yang menjaga sekolah menembak dan membunuh dua siswi sekolah. (Foto: Tangkapan layar YouTube)

PAKISTAN (OSJINDONESIA.ORG) - Dua siswi, termasuk seorang anak berusia 9 tahun, tewas dan lima lainnya luka-luka ketika seorang oknum polisi, penjaga keamanan di sekolah misionaris Katolik, melepaskan tembakan ke sekolah itu di barat laut Pakistan.

Sekolah, yang dikelola oleh Kongregasi Suster-suster Presentasi St. Perawan Terberkati di Sangota itu, berlokasi di Lembah Swat Pakistan yang bergolak di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa, menjadi sasaran sekitar pukul 02:00 siang ketika para siswa bersiap-siap meninggalkan sekolah dengan mobil van.

“Saya panik setelah melihat darah di kaki putri saya. Kendaraan itu diparkir di dalam sekolah saat penembakan dimulai,” kata salah satu orang tua. Para orang tua yang marah memprotes dan memblokir jalan di luar sekolah segera setelah penembakan.

Alam Khan, seorang polisi yang ditempatkan di Sekolah Negeri Sangota, yang dibangun tahun 1962, untuk membantu keamanan psejak Februari, telah ditangkap sebagai bagian dari penyelidikan yang sedang berlangsung.

“Dia adalah seorang pembunuh, ditangkap bersama senjata. Saya berjanji kepada para orang tua siswa bahwa kami akan memenuhi keadilan. …Hati kami juga sedih,” kata Shafiullah Gandapur, seorang aparat kepolisian di Distrik Swat, kepada media.

“Pernyataan awal kepada manajemen sekolah bahwa oknum polisi itu mengalami ‘sakit jiwa’ dan diskors ‘dua kali karena perilaku kekerasan,'” kata Uskup Agung Islamabad-Rawalpindi, Mgr. Joseph Arshad kepada UCA News.

“Ini sangat disayangkan. Kami menuntut hukuman bagi penjaga untuk menghindari tragedi seperti itu ke depan,” kata Uskup Agung Arshad, yang mengarahkan 448 lembaga pendidikan yang dikelola Gereja di negara mayoritas Muslim untuk mengadakan hari doa dalam solidaritas dengan sekolah misionaris itu.

Dalam pernyataan 17 Mei, Komisi Ekumenis untuk Pembangunan Manusia mendesak pemerintah meninjau kembali pelanggaran keamanan di sekolah tersebut.

“Umat agama minoritas patah hati. Kami merasa terancam dan tidak aman di tengah meningkatnya terorisme di negara yang dilanda gejolak ekonomi dan politik ini. Kami berdoa untuk jiwa-jiwa mereka yang telah meninggal dan kesembuhan bagi para penyintas yang hanya ditargetkan untuk mengenyam pendidikan,” kata James Rehmat, direktur eksekutifnya.

Dalam sebuah pernyataan pada 16 Mei, Komnas HAM Pakistan mengatakan penembakan itu adalah “pengingat yang suram tentang betapa rentannya kaum muda terhadap kekerasan yang tidak disengaja, terutama di Khyber Pakhtunkhwa di mana negara gagal menjaga hukum dan ketertiban.”

Sebagai tanda protes dan duka, 12 sekolah yang dikelola oleh tarekat itu di negara itu ditutup pada 17 Mei.

Sekolah Katolik, yang populer disebut Sangota Public School, terkenal karena memberikan pendidikan berkualitas di wilayah Malakand di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa, tempat ribuan orang tewas dan jutaan orang mengungsi selama perang melawan teror yang dilakukan oleh pemerintah AS dengan dukungan tentara Pakistan melawan teroris. Taliban berbasis terutama di Afghanistan.

Marah dengan kerja sama Pakistan dengan AS, Taliban Pakistan, juga dikenal sebagai Tehreek-e-Taliban Pakistan (TTP), secara resmi didirikan tahun 2007 ketika berbagai kelompok terlarang sepakat untuk bekerja sama melawan Pakistan. TTP memiliki ikatan sejarah dengan Taliban di Afghanistan.

Tahun 2008, Taliban membom Sekolah Umum Sangota karena memberikan pendidikan Bahasa Inggris kepada para gadis dan menuduh para biarawati itu mengkonversi gadis-gadis muda Muslim menjadi Kristen.

Sekolah dibuka kembali tahun 2012 setelah tentara Pakistan membangun kembali institut tersebut, yang terletak di atas bukit.

Distrik Swat adalah pusat saraf Lembah Swat yang indah, dulunya merupakan kubu Taliban Pakistan.

Malala Yousafzai ditembak di kepala oleh Taliban tahun 2012 di Lembah Swat tetapi dia pulih dan kemudian memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2014 pada usia 17 tahun.

Sumber : indonesia.ucanews.com

No comments